ESTETIKA
SENI
Oleh: Hajar Pamadhi
I.
Deskripsi Materi Kuliah
Estetika Seni dalam Pembelajaran Seni Rupa di Sekolah ini membahas hakikat pembelajaran seni di sekolah. Saripati pendidikan seni adalah
pendidikan ”estetika”, yaitu pendidikan tentang, dengan dan melalui pembinaan
rasa indah dalam berkesenian. Estetika dalam konteks pendidikan diartikan
sebagai ”rasa keindahan”. Rasa estetika merupakan satuan keseimbangan antara pikiran – perasaan yang secara alami
telah dipunyai anak. Keseimbangan ini akan memberikan kontrol antara
perkembangan rasa dan pikiran. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan estetika
berbentuk pendidikan a-vokasional, yaitu
pendidikan yang tidak mengenal bakat anak dalam belajar seni. Pendidikan jenis
ini bertujuan ”Mendidik melalui seni, dengan seni dan membuat seni”. Strategi pembelajaran
menggunakan AMT (approach, method and
techniques).
II.
Kompetensi Pembelajaran
A.
Standar Kompetensi
- Mengapresiasi estetika Alami dengan memahami alam
sebagai inspirasi berkarya seni
2. Mengapresiasi estetika Artifisial sebagai representasi
estetika seni
B.
Kompetensi Dasar
- Kemampuan mengidentifikasi keindahan bentuk alam dan
alami
2. Kemampuan mengungkapkan potensi keindahan diri dalam
rangka memberikan kesenangan kepada orang lain
3. Kemampuan menunjukkan nilai estetika pada sebuah karya
persona, kecerdasan kolektif-sosial, maupun kegunaannya
4. Kemampuan menunjukkan unsur-unsur tatanan dalam karya
seni rupa
C.
Rancangan Pembelajaran
No.
|
Materi Bahasan
|
Keggiatan Peserta didik
|
Keggiatan Tutor
|
Keterangan
|
1.
|
Pemahaman tentang keindahan
|
Diskusi, eksplorasi
|
Tutorial dan intervensi
|
Baca referensi dan modul
|
2.
|
Identifikasi obyjek keindahan
alami dan artifisial
|
Diskusi
|
Ceramah
|
Baca referensi dan modul
|
3.
|
Karya Seni dan Keindahannya
|
Eksplorasi prinsip
|
intervensi
|
Eksursi
|
4.
|
Pola dan sejarah objektivasi
keindahan
|
Presentasi
|
Tutorial dan intervensi
|
Baca referensi dan modul
|
5.
|
Prinsip divergen dan konvergen
|
Mendengarkan dan diskusi
|
Ceramah dan tanya jawab
|
Baca referensi dan modul
|
6.
|
Pengetahuan Estetika
|
Eksplorasi dan diskusi
|
intervensi
|
Baca referensi dan modul
|
7.
|
Pendidikan Estetika
|
Eksplorasi dan diskusi
|
Tutorial dan intervensi
|
Baca referensi dan modul
|
D.
Materi Bahasan
A.
Keindahan Alami dan Artifisial
Estetika berangkat dari bahasa Inggeris ‘aesthetic’, etimologinya adalah aesthetikos (bahasa Yunani)
berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’.
Dalam hal ini
indera manusia dengan fungsi penglihatan, perabaan, pencecapan, pendengaran dan
perasaan difungsikan untuk melakukan penginderaan,
pemahaman, dan perasaan terhadap obyek, sehingga obyek dapat
diserap dan dianalisa melalui proses abstraksi. Kemudian, manusia memberikan
arti obyek (obyektivasi) sesuai dengan potensi, kemampuan atau tujuan manusia
sendiri.
Dalam berbagai pustaka, istilah
estetika (dengan huruf kecil)
merujuk makna obyek yang berkaitan dengan “keindahan atau kecantikan” (beauty); sedangkan Estetika (dengan huruf besar) merupakan salah satu cabang Filsafat
Nilai (Aksiologi). Aksiologi yang berkaitan dengan keindahan menjadi filsafat
keindahan, yaitu mempelajari makna, prinsip serta keberadaan “indah” sebagai
nilai dan idealisasi serta symbol. Oleh karenanya, prinsip nilai indah pada
suatu benda atau obyek dikaitkan dengan epistemology dan ontologisnya. Jika
seseorang akan mengartikan suatu obyek, maka unsure pribadi akan maju dan
mendeskripsikan berdasarkan kepentingannya.
Di sinilah keindahan akan ditafsirkan oleh manusia. Keindahan yang ada pada panorama pemandangan diidentikkan
ciptaan Tuhan. Termasuk dalam kategori indah alami adalah kecantikan;
kecantikan seorang wanita ada sejak lahir. Jika kecantikan alami ini memberi
nuansa yang bersifat ruhaniah, artinya ruh atau mental seseorang terpikat oleh
keasliannya. Namun dalam kenyataannya, kecantikan pun dapat dibuat; yaitu dengan
mengubah, memodifikasi, dan menambah. Demikian pula lukisan pemandangan (gambar
2); dilihat dari pewarnaan, menunjukkan kesamaan kualitasnya, bahkan
menunjukkan penonjolan warna atau bentuk. Keindahan yang ada pada lukisan
ternyata tidak asli, karena yang membuat manusia. Keindahan tiruan ini
dilakukan dengan mempelajari keindahan yang asli. Mungkin pengamatan dan
pengideraan (pengamatan hanya dengan mata, namun penginderaan kemungkinan
proses batin sebagai langkah yang mengawasi kegiatan tersebut.
Estetika alami belum mendapatkan sentuhan tangan manu, sedangkan
keindahan karya seni merupakan sentuhan tangan untuk mewujudkan estetika.
Keindahan ini disgolongkan dalam keindahan tiruan (estetika artifisial). Estetika
artifisial hadir sebagai estetika peniruan alami, representasi. Keindahan yang
diutarakan kembali pada sebuah karya seni rupa sebagai hasil sentuhan seorang
manusia disebut dengan ’seni.’ Jadi seni merupakan estetika tiruan yang oleh
seorang manusia dijadikan obyek kembali atau representasi. Ketika
manusia telah mengobtivasi obyek dalam kaitannya keindahan akan terdapat makna:
senang, dan tidak senang. Jadi keindahan merupakan obyek yang bersifat
individual.
Kata senang berkait dengan minat dan terkonsentrasi pada
sesuatu yang menarik. Kemenarikan sendiri berasal dari unsur hubungan langsung
dengan yang menikmati. Jadi, bagi yang tidak bersedia menuikmati atau tertarik,
”senang” tidak akan dapat diterima. Demikian pula ”indah”, jika seseorang tidak
merasa ada hubungan apalagi tertarik ”keindahan” tidak tidak akan ada. Rene
Descartes (1595-1650), seorang filsuf Perancis pada abad Pencerahan, pernah mengutarakan cogito ergo sum, (jika
saya berpikir ada, maka itu akan ada). Ungkapan ini dikaitkan dengan pemaknaan
suatu objek yang dimaknai ada maka objek itu dapat berada tentang keindahan itu
’ada’, ’indah itu ada’.
Perkembangan pemikiran manusia mulai menampakkan
bentuk-bentuknya: dari alam (dynamism) menuju teosentrisme, logosentrisme di
masa klasik dan diakhiri dengan abad pencerahan. Logika manusia diperingatkan
oleh kekuatan manusia itu sendiori, dan akhirnya menuju pemikiran manusia
sebagai konsepsi idealisme. Bahasa dijadikan unggulan manusia untuk
mengutarakan ide dan gagasan, oleh karenanya idealisme sebuah pikiran tetap
bergantung cara mengungkapkan, yaitu bahasa. Beberapa kelemahan berbahasa
menyebabkan orang tidak percaya lagi, karena apa yang diungkapkan sebenarnya
bukan apa yang dia pikirkan. Hadirlah konsep rasa dalam pengembangan penalaran,
melalui rasa semua pikiran dikontraskan karena kejayaan pikiran tidak
memberikan kepercayaan penuh terhadap keyakinan.
Dalam pembelajaran Pendidikan Seni di sekolah, estetika
yang diajarkan kepada peserta didik berupa “rasa keindahan”. Jadi bukan
filsafat nilai atau Aksiologi. Diharapkan, pembahasan indah secara pasif dengan
memahami letak serta kedudukan indah pada suatu obyek baik alami maupun
artifisial Obyek dapat memancing analogi anak tentang keindahan. Keindahan
bentuk, suara, serta gerak akan mempunyai dampak pada pemahaman estetika
artifisial termasuk seni dan perilaku manusia dalam “berbudaya”.
B.
Obyek
keindahan dan keindahan obyektif
|
Pertanyaan di atas membuat gugup peserta didiknya;
apalagi ketika harus memberi alasan pemilihan. Akan tetapi, pertanyaan Guru
tersebut sudah mencoba mengungkapkan ‘rasa keindahan’ menurut hasil
penginderaan peserta didiknya. Perkembangan yang semestinya dicermati adalah
pertanyaan Guru, mengapa hal yang ditunjuk menjadi pilihan dan dianggap paling ‘menarik.’
Kata menarik dalam suatu obyek dilatarbelakangi ’kesenangan’ atau dianggap
‘aneh an atau unik’. Alasan inilah menjadi sebuah kata ‘indah’ dan ‘senang’ ketika
menjawab pertanyaan. Rujukan yang akan didapat dari jawaban tersebut adalah
kesenangan dikarenakan obyeknya menarik, kemenarikan tersebut oleh sebab obyek
yang indah.
Pilihan ke’unik’an seseorang pada suatu objek menjadi
menarik untuk didiskusikan, karena pilihan itu bersifat ‘subyektif’. Meng ’obyek’
kan keindahan, hasilnya menjadi subyektif, karena pilihan masing-masing peserta
didik berbeda. Pilihan subyektif ini yang menjadikan keindahan itu sulit
dipahami orang, karena pilihan masing-masing orang berbeda. Pilihan yang bersifat
subjektif diminta memberi alasan pemilihan. Di sinilah proses pengubahan
subyektivitas menuju obyektivitas pandangan terhadap keindahan. Contoh, pemahaman
terhadap estetika artifisial seperti ‘sudut suatu ruangan’ atau ‘karya seni,’ dengan
disertai alasan (reasoning) menghasilkan
pengetahuan ‘keindahan’. Pengetahuan keindahan menjadi bahan dasar berperilaku
dan berkarya seni.
Berdasarkan contoh di atas, maka obyek keindahan dapat
dilihat dengan penginderaan yang berbeda namun akan menemukan hasil yang sama. Obyek
dapat dikatakan indah melalui dua proses, yaitu mengambil jarak (abstrahere=menjauhkan diri dari, mengambil
dari jarak) dan mendekatkan obyek dalam peristiwa pengalaman disebut dengan
naturalistik. Sebagai contoh obyektivasi keindahan, atau menentukan suatu
keindahan dalam sebuah obyek:
a.
Pengambilan
jarak terhadap obyek (abstrahere=menjauhkan diri dari, mengambil dari jarak).
b.
Penyatuan
diri dalam obyek
Skema 1: Skema Penginderaan Obyek Estetika
Proses
penginderaan dengan mengambil jarak mengindikasikan seseorang untuk menduga dan
memberikan arti terlebih dahulu. Artinya, seseorang harus menggunakan indera
pikiran terlebih dahulu ketika melihat suatu obyek kemudian baru member arti. Peng”arti”an
ini merupakan peristiwa berpikir, dan menebak, Gadamer
(1900 – 2002) http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer),
seorang filsuf Jerman mencontohkan pemikiran positivistik seperti
seorang hakim yang bertanya kepada terdakwa. Pertanyaan kepada terdakwa telah
dirancang untuk menjawab agar tuduhan terbukti. Jawaban yang diberikan oleh
terdakwa menjadi jawaban terpola, sehingga kadang tidak dapat memberikan
jawaban lain atau alasan lain dalam menjawab pertanyaan. Jika kemudian
dianalogkan dengan objektivasi keindahan, maka apresian akan memola pikirannya
terlebih dahulu ketika akan melihat dan mengamati suatu obyek. Objek
seolah-olah terpola berdasarkan pemikiran seorang apresian.
Objektivasi jenis ini seolah memberikan
gambaran jelas dan jawaban yang jelas bahwa suatu obyek itu mempunyai pola.
Keindahan tertata seperti bayangan apresian, misalnya: nada, suara, komposisi
dan sebagainya dalam suatu pengamatan langsung. Pola-pola yang sedemikian pasti
membuat ungkapan terhadap obyek keindahan juga terpola. Pendekatan belajar
keindahan seperti di atas disebut dengan pendekatan positivistik. Gaya ini
ditolak oleh kelompok empirisme, obyektivasi keindahan tidak mungkin dapat
dipola, karena masing-masing obyek mempunyai struyktur dan gaya yang berbeda.
Apalagi kalau obyek itu merupakan “obyek yang hidup” maka tidak akan sama dari
satu terhadap yang lain. Obyek adalah sesuatu yang natural (alami) oleh
karenanya diperlukan pemahaman terlebih dahulu, bukan obyek yang dapat dipecah
berdasarkan klasifikasi dan katagorisasi. Obyek itu hidup sesuai dengan
kondisinya, dapat diartikan manakala seseorang masuk diantara “hidup” nya obyek
dan bukan berada di luar obyek. Konsep inilah estetika sebagai obyek keindahan
menjadi lebih spesifik. Artinya keindahan yang telah diinterpretasi, bahkan
dire-interpretasi menghasilkan obyek keindahan yang berbeda. Proses ini yang
disebut sebagai porses kreativitas; yaitu mencari sesuatu yang berbeda dengan
yang pernah diamati, diingat dengan mengubah prinsip, konsep serta fakta objek.
Prinsip adalah susunan yang teratur dan mempunyai susunan berupa ide maupun
langkah yang tepat. Sedangkan konsep objek adalah gambaran objek yang mempunyai
cirikhas serta menunjukkan karakteristik suatu obyek. Objek dilihat secara
konsep adalah susunan yang mempunyai karakter khas. Misalnya, apa bedanya rumah
semut dengan sumah manusia? Jawaban akan mengarah cirikah rumah semut; ‘tidak
beratap’ atau ‘fungsi atap sama dengan fungsi dinding’, artinya merupakan
lubang. Sedangkan rumah manusia adalah bangunan yang mempunyai atap, dinding
dan lantai. Jadi konsep rumah sama namun bentuk berbeda. Demikian pula jika
dikatakan obyek keindahan itu berbeda namun rasa indah itu mampu memberikan
ketenangan, ketenteraman serta keunikan yang menjadi cirri khas suatu obyek
keindahan.
Sebelum membahas lebih banyak memahami
obyek keindahan, anda diminta mendiskusikan dan kemudian menarik kesimpulan,
metoda pemahaman terhadap obyek keindahan. Bagaimana metoda interpretasi obyek
keindahan tersebut? Samakah menginterpretasi dan menerjemahkan rumus keindahan
sama dengan rumus matematika. Untuk itu diperlukan pendekatan belajar memhami
estetika sebuah objek.
C. Instrumen Penginderaan Estetika
Ketika estetika (keindahan) diamati
sebagai hasil obyektivasi terjadilah “pemahaman (verstehen)”, kemudian dirasionalkan. Ternyata keindahan hasil
pemahaman terhadap obyek yang dipelajari menjadi jelas ketika diuraikan kembali.
Penampakan estetika tersebut berupa susunan, bentuk, tatalaku, yang masih tersimpan
di dalam “persepsi”. Kemudian proses berpikir mulai meraba susunan, prinsip
ataupun keseimbangan yang ada pada obyek indah tersebut. Proses ini bersifat
abstrak dan individual. Ketika penginderaan, keindahan dikemukakan dengan
bahasa bentuk atau tulis, dan terwujud arti keindahan yang dipikirkan tadi.
Keindahan yang diamati menjadi obyektif. Sifat indah dapat dikaitkan dengan
‘senang dan tidak senang’ (like and
dislike), artinya keindahan dapat dipengaruhi oleh rasa ‘senang atau tidak
senang’.
Pengalaman obyektivasi estetika
bergantung pada alat pengindraan, yaitu diantara pikiran dan perasaan, yaitu: sensing,
feeling, thinking, dan rationing.
-
Sensing
adalah peristiwa penginderaan obyek estetika melalui rasa dengan menyerahkan
sepenuhnya kepercayaan. Estetika menjadi sesuatu yang mutlak (apriori) berdasarkan pengetahuan yang
telah ada. Proses ini dipengaruhi oleh kepercayaan atau pengetahuan yang dipunyai.
-
Feeling,
merupakan perpaduan rasa kepercayaan dengan pikiran; pikiran masih dipengaruhi
oleh sensing di atas, namun keindahan
dipertanyakan dengan peran keber”ada”an obyek, apakah berdasar pada minat,
kepercayaan atau pengalaman yang pernah tersimpan menjadi “sedimentasi” indah.
Peristiwa ini dapat dinyatakan dengan bahasa, belum pada visualisasinya.
-
Thinking
adalah proses berpikir untuk mengalahkan perasaan yang pernah berlangsung dari
pengalaman obyektivasi keindahan. Proses ini menjadikan keindahan dapat
dipahami oleh orang lain, karena telah diungkapkan melalui bahasa yang tepat.
Kepercayaan terhadap estetika mulai bersifat nyata, indah dinyatakan dalam
bentuk bahasa sehingga orang lain akan mempercayainya. Keindahan menjadi
sesuatu yang dapat diuraikan berdasarkan pengalaman dan pernyataan pengetahuan.
-
Rationing
merupakan proses yang sangat nyata, antara obyek yang tidak atau belum
diobyektivasi keindahannya. Obyek keindahan menjadi seolah ada sebelum orang
melakukan penginderaan. Proses postivisme ini memberikan gambaran dan prinsip
yang ada dalam obyek keindahan. Pelajaran estetika dapat dirasionalkan, artinya
pengetahuan estetik menjadi pengetahuan sistematis. Kejelasan komponen
masing-masing system dapat diterangkan berdasarkan kedudukannya; misalnya dalam
pengetahuan seni: kaitan komponen satu dengan yang lain dapat diidentifikasi
hubungannya, kefungsiannya atau bahkan kontradiksinya. Beberapa komponen baik
selaras maupun kontradiksi akan menjadikan pengetahuan estetik lebih variatif.
D. Karya Seni Rupa
Estetika yang telah
tertangkap oleh indera kemudian teruraikan berdasarkan susunan-susunan
pengetahuan tentang keindahan. Pengetahuan baru tersebut menjadi terklasifikasi
secara otomatis oleh rasa dan pikiran serta secara otomatis juga terseleksi.
Klasfikiasi estetika kemudian bercampur dengan pengetahuan lama, baik sejenis
maupun tidak yang menyatukan diri menjadi Kristal-kristal keindahan dalam
imajinasi. Ketika proses berpikir lebih menguatkan klasifikasi maka susunan
pengetahuan estetika sebenarnya siap diutarakan, baik dalam bentuk orak (bahasa
kata dan suara) maupun bahasa bentuk. Teori Psikoanalisis Sigmnud Freud (6 Mei 1856 - 23 September 1939. -
http://id.wikipedia.org/wiki/Psikoanalisis) menjelaskan proses visualisasi
estetika, sebagai berikut: pengetahuan estetik (keindahan) terakumulasi dan
menjadikan dorongan kuat dalam bentuk baying-bayang imaji (dinamakan Id). Id yang telah mengkristal tersebut
siap dikeluarkan sebagai ego nya,
maka susunan telah tertata rapi yang siap dikeluarkan. Super-ego memberikan gambaran tempat yang akan dikeluarkan dari
sedimen pikiran maupun perasaan hasil cerapan tersebut. Akhirnya, estetika akan
keluar sebagai bahasa; estetika artifisial.
Ojektivasi estetika yang bersifat
individual sering memunculkan kekuatan estetik yang kemudian dipancarkan ke dalam
karya seni. Hasil pancaran berupa karya seni mempunyai nuansa (greget- bhs Jawa). Perbedaan tersebut terletak
pada kemampuan serapan dan kemampuan visualisasi. Kemampuan serapan estetika
dapat tertangkap banyak atau sedikit berangkat dari motivasi yang disebutkan
sebagai pengetahuan estetik. Di bawah ini merupakan skema proses presentasi dan
representasi estetika alami menjadi estetika artifisial
Skema 4: Keindahan
artificial sebagai pengetahuan dalam karya seni
Instrument pengindraan keindahan yang
digunakan untuk membidik sasaran adalah 4 instrumen di atas. Sedangkan sasaran
bidik pada suatu karya seni adalah: kontur, konten dan konteks karya seni. Kontur
adalah sasaran wadag atau fisik suatu
karya, sesuatu yang dilihat berdasarkan bentuk yang adak. Bentuk-bentuk
tersebut berupa (gambar 5):
|
Skema di atas dapat divisualisasikan ke
dalam karya seni lukis; struktuir karya seni mempunyai unsur kontur, konten dan konteks. Gambar (6) di
bawah Sebenarnya contoh lukisan ini merupakan simbolisasi. Barangklali dapat
diimplementasikan ke dalam karya seni tari, atau music bahkan seni drama dan
film. Sedangkan skema di bawah ini bentuk penginderaan estetika:
|
|
Konten adalah isi atau makna, terkandung
dalam kontur karya, dapat berupa cerita, cita-cita, ide, ataupun angan-angan
sebagai dorongan terwujudnya kontur. Kontur dan konten dipengaruhi oleh konteks..
Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam suatu tampilan karya, namun secara hakiki
mempunyai unsur tersebut.
E.
Pembelajaran Estetika
Pelajaran estetik sebenarnya juga
merupakan pelajaran seni, karena seni telah dipersyaratkan dengan pengetahuan
penciptaan. Dalam uraian terdahulu diungkapkan, pertumbuhan pemahaman estetika
diajukan teori Plato: esensi suatu seni adalah keindahan (estetika); alam
sebagai sumber keindahan, dalam arti keindahan itu “Ada” adanya. Permasalahannya sekarang adalah
bagaimana estetika dapat ditangkap oleh indera dan mewujudkan menjadi karya
seni.
1. Dalam
konsep lama seni adalah peniruan alam dapat dicontohkan sebagai berikut:
pemandangan sebagai rekaman ide dapat diidentifikasi keindahan sesuai dengan
motivasi dan minat penikmat. Penikmat dapat menyebutkan keindahan bentuk, warna,
susunan dan menjelaskan penyebabnya. Alasan obyektivasi keindahan tadi
terungkap sebagai pengetahuan yang sebagian mengkristal siap dilepaskajn
menjadi karya seni. Susunan keindahan telah dipotret oleh prinsip penciptaan
dan akhirnya diungkapkan menjadi gumpalan estetik artificial. Melalui sistem
pengetahuan yang telah dipunyai oleh peseni, atau orang yang pernah belajar
seni (tata aturan dan prinsip penciptaan telah dipahami) akan menghasilkan
bentuk dan ide yang berbeda.
2. Karya
seni ini merupakan hasil ungkapan cerapan estetik berdasarkan pelajaran
terhadap estetika alami. Estetika yang dihasilkan oleh karya seni adalah
estetika artifisial, yaitu tiruan dan interpretasi terhadap obyektivasi
pemandangan yang pernah diserap melalui penginderaan. estetik yang telah
divisualkan ini disebut karya seni.
3. Karya
seni yang sebenarnya adalah visualisasi ide dan gagasan dengan sentuhan sistem
nilai estetik yang telah mengendap dalam tata laku peseni akan menghasilkan
karya-karya inovasi.
Pendidikan Estetika dikembangkan sebagai berikut:
|
|
Pencarian hakiki estetika bagi anak
tidak dengan menjelaskan melainkan dengan melakukan, atau sering disebut dengan
pendekatan partisipatif. Dalam olah karya anak diminta mengamati tataletak dan
persimpangannya dengan bentuk-warna-komposisi yang nantyinya menjadi bekal
dasar berapresiasi. Prinsip-prinsip desain menjadi bagian yang terpenting dalam
apresiasi tersebut, di samping isi atau konten (lihat struktur karya). Estetika
tidak lagi dipositifkan sebagai kerangka yang dijelaskan sesuai dengan
detail-detail symbol melainkan symbol yang penuh dengan makna.
Secara keseluruhan sebenarnya
pembelajaran seni dapat melihat teori terjadinya seni; Abdul Kadir (1976)
menyitir teori kehadiran seni adalah:
-
Theory
of Play, teori bermainan ini dimaksudkan adalah teori
kehadiran seni berasal dari pengalaman bermain; dengan bermain-main bentuk,
warna maupun garis seseorang menemukan hakikat seni dan akhirnya diangkat
sebagai karya seni. Fenomena kehadiran seni seperti terurai diatas dapat
digunakan untuk menyusun pola pembelajaran: (1) perilaku bermain menghadirkan
metoda berekspresi bebas, (2) menghias benda dengan metoda inovasi, gubahan,
serta penciptaan kembali, (3) perilaku kontemplasi spiritual menghadirkan
metoda eksplorasi melalui penguatan imajniasi. Ke tiga metoda dasar ini
nantinya berkembang menjadi beberapa metoda dengan langkah khas, dimana belajar
seni adalah belajar peningkatan rasa indah melalui berkarya seni.
-
Theory
of Utilization; teori kebermanfaatan dari kebiasaan
membuat benda - benda praktis dan diinginkannya lebih menarik lalu dikembangkan
menbjadi suatu karya seni. Sebagai contoh: ketika peristiwa membuat alat
perang, seseorang memperindah belati dengan berbagai hiasan yang maknanya untuk
kemenangan. Akhirnya hiasan pada belati ini memberikan nilai tersendiri pada
karya tersebut dan akhirnya keindahan yang ada pada belati disengaja untuk
diciptakan dan diimplemntasikan kepada benda lain dan diperoleh karya seni.
Demikian pula, beberapa tarian hadir karena kebutuhan praktis.
-
Theory
of Magic and Rellegy, gagasan kehadiran seni
dikarenakan kebutuhan penyembahan kepada yang maha Pencipta. Atas dasar nilai
spiritual diciptakan karya nusik, tari maupun bentuk rupayang indah dengan
pengharapan semoga pencipta menerima segala sesuatu yang diminta. Konsepsi
magis inilah akhirnya benda untuk peralatan upacara, gerakan tubuh serta musik
untuk kebutuhan upacara keagamaan dkemas dengan rasa spiritual namun etis dan
estetis. disinilah karya seni dihadirkan dengan kesungguhan dan berangkat dari
teori rasa yang dalam (spiritual, magis).
DAFTAR PUSTAKA
Art Maps: art Explorations for children, (1993)., Directorate
of School Education – Victoria.
Baldinger,
Wallac S, 1960, The Visual Art, New York: Holt Rinerhart and Winston.
Calvin
S Hall (2000), Libido Kekuasaan Sigmund Freud, Tarawang-Yogyakarta.
Carter,
Michael (1990), Intorduction Theory Framing and The Visual Image Art (trans visual studies), Hale &
Iremonger, Sydney-Australia.
Chernyshevsky,
N.G, (1953) Hubungan Estetik Seni Dengan Realitas, (terjemahan Samanjaya,
2005), Perpustakaan Nasional, Jakarta.
d' Francisco.,
Italio, dan Sawyer, John R., 1971. Art Education – Its Means and Ends,
Harper & Row, New York.
Earl W. Linderman dan
Donald W. Herbertholz, 1981, Developing
Artistic Perceptuial Awareness, Wm C. Brown Co. Publisher,
Dubuque, Iowa – USA.
Eisner,
Eliot W., (1972), Educating Artisrtic Vision, Macmillan
Publishing, New York.
Feldman,
Edmund Burke. 1996. Art As Image An
Idea. New Jersey
Englewood Clife. Hall The University Of
Georgia.
Lansing,
Kenneth M., (tt), Art, Artist, andf Art Education, McGraw-Hill,
New York.
Lelland,
Cavid Mc. (2005), Ideologi Tanpa Akhir, (terjemahan Muhammad Syukri), Kreasi
Wacan – Yogyakarta.
Liftschitz,
Mikhail., Salamini, Leonardo. (2003) Praksis Seni: Marx & Gramsci, (terjemahan
Ari Eijaya), Penerbit Alinea-Gejayan, Yogyakarta.
Lowenfeld dan Lambert
Brittain, 1975 Cretaive and Mental
Growth, Macmilan Publishing, New York.
McKechnie,
Jean,L. (edt) (tt)., Webster’s Twentieth Centur4y Dictionary, Prentice
Hall, New York.
Ministry of Education (School Devision)-Victoria (1988), The Arts
Framework P-10, Australia.
Ministry of Education, Victoria, (1986) Learning Through Integrated
Curriculum (approaches and Guidelines) Victoria, Australia.
Mudji Sutrisno, Christ Verhaak, (1993), Estetika Filsafat Keindahan, Pustaka Filsafat – Penerbit
Kanisius, Yogyakarta.
Garha, O. 1979. Pendidikan
Kesenian Seni Rupa II. Jakarta: Depdikbud.
______________. Pendidikan
Kesenian Seni Rupa III. Jakarta: Depdikbud.
Pamadhi,
Hajar., 1994, Art Teaching,
Center for Studies in the Curriculum, Victoria - Australia.
Read, Herbert., (1961), Education
Through Art, Faber and Faber, London.
Robert W. Ott and Al Hurwitz (1984), Art in Edducation: An International Perspective, The Pennsylvania State University
Press- University Park and London.
Ross, Malcolm (1984), The Aesthetic Impulse, Pergamon
Press-New York.
Smolcha,
Larry. 1996, The Visual Art
Companion, Prentice Hall, Engelwood Cliffs, New Jersey.
Soedarso
Sp., 2006, Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi danKegunaan Seni, Badan
Penerbit ISI Yogyakarta.
The
Liang Gie (1996), Filsafat Keindahan , Pusat Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta.
-----------
(1996), Filsafat Seni, Pusat Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar