Selasa, 10 Januari 2017

MATERI KELAS XI MULTIMEDIA ESTETIKA SENI DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA DI SEKOLAH

MATERI KELAS XI MULTIMEDIA

ESTETIKA SENI
DALAM PEMBELAJARAN SENI RUPA DI SEKOLAH

Oleh: Hajar Pamadhi


I.    Deskripsi Materi Kuliah
Estetika Seni dalam Pembelajaran Seni Rupa di Sekolah ini membahas hakikat pembelajaran seni di sekolah. Saripati pendidikan seni adalah pendidikan ”estetika”, yaitu pendidikan tentang, dengan dan melalui pembinaan rasa indah dalam berkesenian. Estetika dalam konteks pendidikan diartikan sebagai ”rasa keindahan”. Rasa estetika merupakan satuan keseimbangan antara pikiran – perasaan yang secara alami telah dipunyai anak. Keseimbangan ini akan memberikan kontrol antara perkembangan rasa dan pikiran. Pelaksanaan pembelajaran pendidikan estetika berbentuk pendidikan a-vokasional, yaitu pendidikan yang tidak mengenal bakat anak dalam belajar seni. Pendidikan jenis ini bertujuan ”Mendidik melalui seni, dengan seni dan membuat seni”. Strategi pembelajaran menggunakan AMT (approach, method and techniques).

II.      Kompetensi Pembelajaran
A.   Standar Kompetensi
  1. Mengapresiasi estetika Alami dengan memahami alam sebagai inspirasi berkarya seni
2.    Mengapresiasi estetika Artifisial sebagai representasi estetika seni

B.     Kompetensi Dasar
  1. Kemampuan mengidentifikasi keindahan bentuk alam dan alami
2.    Kemampuan mengungkapkan potensi keindahan diri dalam rangka memberikan kesenangan kepada orang lain
3.    Kemampuan menunjukkan nilai estetika pada sebuah karya persona, kecerdasan kolektif-sosial, maupun kegunaannya
4.    Kemampuan menunjukkan unsur-unsur tatanan dalam karya seni rupa


C.     Rancangan Pembelajaran
No.
Materi Bahasan
Keggiatan Peserta didik
Keggiatan Tutor
Keterangan
1.
Pemahaman tentang keindahan
Diskusi, eksplorasi
Tutorial dan intervensi
Baca referensi dan modul
2.
Identifikasi obyjek keindahan alami dan artifisial
Diskusi
Ceramah
Baca referensi dan modul
3.
Karya Seni dan Keindahannya
Eksplorasi prinsip
intervensi
Eksursi
4.
Pola dan sejarah objektivasi keindahan
Presentasi
Tutorial dan intervensi
Baca referensi dan modul
5.
Prinsip divergen dan konvergen
Mendengarkan dan diskusi
Ceramah dan tanya jawab
Baca referensi dan modul
6.
Pengetahuan Estetika
Eksplorasi dan diskusi
intervensi
Baca referensi dan modul
7.
Pendidikan Estetika
Eksplorasi dan diskusi
Tutorial dan intervensi
Baca referensi dan modul

D.     Materi Bahasan
A.   Keindahan Alami dan Artifisial
Estetika berangkat dari bahasa Inggeris ‘aesthetic’, etimologinya adalah  aesthetikos (bahasa Yunani) berarti `sesuatu yang dapat diserap ‘indera’. Dalam hal ini indera manusia dengan fungsi penglihatan, perabaan, pencecapan, pendengaran dan perasaan difungsikan untuk melakukan penginderaan, pemahaman, dan perasaan terhadap obyek, sehingga obyek dapat diserap dan dianalisa melalui proses abstraksi. Kemudian, manusia memberikan arti obyek (obyektivasi) sesuai dengan potensi, kemampuan atau tujuan manusia sendiri.
Dalam berbagai pustaka, istilah estetika (dengan huruf kecil) merujuk makna obyek yang berkaitan dengan “keindahan atau kecantikan” (beauty); sedangkan Estetika (dengan huruf besar) merupakan salah satu cabang Filsafat Nilai (Aksiologi). Aksiologi yang berkaitan dengan keindahan menjadi filsafat keindahan, yaitu mempelajari makna, prinsip serta keberadaan “indah” sebagai nilai dan idealisasi serta symbol. Oleh karenanya, prinsip nilai indah pada suatu benda atau obyek dikaitkan dengan epistemology dan ontologisnya. Jika seseorang akan mengartikan suatu obyek, maka unsure pribadi akan maju dan mendeskripsikan berdasarkan kepentingannya.
Di sinilah keindahan akan ditafsirkan oleh manusia. Keindahan yang ada pada panorama pemandangan diidentikkan ciptaan Tuhan. Termasuk dalam kategori indah alami adalah kecantikan; kecantikan seorang wanita ada sejak lahir. Jika kecantikan alami ini memberi nuansa yang bersifat ruhaniah, artinya ruh atau mental seseorang terpikat oleh keasliannya. Namun dalam kenyataannya, kecantikan pun dapat dibuat; yaitu dengan mengubah, memodifikasi, dan menambah. Demikian pula lukisan pemandangan (gambar 2); dilihat dari pewarnaan, menunjukkan kesamaan kualitasnya, bahkan menunjukkan penonjolan warna atau bentuk. Keindahan yang ada pada lukisan ternyata tidak asli, karena yang membuat manusia. Keindahan tiruan ini dilakukan dengan mempelajari keindahan yang asli. Mungkin pengamatan dan pengideraan (pengamatan hanya dengan mata, namun penginderaan kemungkinan proses batin sebagai langkah yang mengawasi kegiatan tersebut.
Estetika alami belum mendapatkan sentuhan tangan manu, sedangkan keindahan karya seni merupakan sentuhan tangan untuk mewujudkan estetika. Keindahan ini disgolongkan dalam keindahan tiruan (estetika artifisial). Estetika artifisial hadir sebagai estetika peniruan alami, representasi. Keindahan yang diutarakan kembali pada sebuah karya seni rupa sebagai hasil sentuhan seorang manusia disebut dengan ’seni.’ Jadi seni merupakan estetika tiruan yang oleh seorang manusia dijadikan obyek kembali atau representasi. Ketika manusia telah mengobtivasi obyek dalam kaitannya keindahan akan terdapat makna: senang, dan tidak senang. Jadi keindahan merupakan obyek yang bersifat individual.
Kata senang berkait dengan minat dan terkonsentrasi pada sesuatu yang menarik. Kemenarikan sendiri berasal dari unsur hubungan langsung dengan yang menikmati. Jadi, bagi yang tidak bersedia menuikmati atau tertarik, ”senang” tidak akan dapat diterima. Demikian pula ”indah”, jika seseorang tidak merasa ada hubungan apalagi tertarik ”keindahan” tidak tidak akan ada. Rene Descartes (1595-1650), seorang filsuf Perancis pada abad Pencerahan, pernah mengutarakan cogito ergo sum, (jika saya berpikir ada, maka itu akan ada). Ungkapan ini dikaitkan dengan pemaknaan suatu objek yang dimaknai ada maka objek itu dapat berada tentang keindahan itu ’ada’, ’indah itu ada’.
Perkembangan pemikiran manusia mulai menampakkan bentuk-bentuknya: dari alam (dynamism) menuju teosentrisme, logosentrisme di masa klasik dan diakhiri dengan abad pencerahan. Logika manusia diperingatkan oleh kekuatan manusia itu sendiori, dan akhirnya menuju pemikiran manusia sebagai konsepsi idealisme. Bahasa dijadikan unggulan manusia untuk mengutarakan ide dan gagasan, oleh karenanya idealisme sebuah pikiran tetap bergantung cara mengungkapkan, yaitu bahasa. Beberapa kelemahan berbahasa menyebabkan orang tidak percaya lagi, karena apa yang diungkapkan sebenarnya bukan apa yang dia pikirkan. Hadirlah konsep rasa dalam pengembangan penalaran, melalui rasa semua pikiran dikontraskan karena kejayaan pikiran tidak memberikan kepercayaan penuh terhadap keyakinan.
Dalam pembelajaran Pendidikan Seni di sekolah, estetika yang diajarkan kepada peserta didik berupa “rasa keindahan”. Jadi bukan filsafat nilai atau Aksiologi. Diharapkan, pembahasan indah secara pasif dengan memahami letak serta kedudukan indah pada suatu obyek baik alami maupun artifisial Obyek dapat memancing analogi anak tentang keindahan. Keindahan bentuk, suara, serta gerak akan mempunyai dampak pada pemahaman estetika artifisial termasuk seni dan perilaku manusia dalam “berbudaya”.

B.   Obyek keindahan dan keindahan obyektif


Diskusi
Seorang Guru SMP mengajak peserta didik kelas 7 rekreasi di suatu desa lereng gunung, meminta peserta didik mengamati pemandangan. Kemudian Guru bertanya: ‘ Anak-anak jika kalian nanti akan melukis pemandangan, di sisi mana anda pilih?’ Pertanyaan dilanjutkan: ‘ Mengapa kau memilih, apakah karena senang atau kalian tertarik?
Pernyataan Guru ini memberi indikasi bahwa peserta didik harus mampu menjelaskan pilihan yang terbaiknya.
Bagaimana reaksi peserta didik? Apakah mereka merasa kebingungan?
 
 










Pertanyaan di atas membuat gugup peserta didiknya; apalagi ketika harus memberi alasan pemilihan. Akan tetapi, pertanyaan Guru tersebut sudah mencoba mengungkapkan ‘rasa keindahan’ menurut hasil penginderaan peserta didiknya. Perkembangan yang semestinya dicermati adalah pertanyaan Guru, mengapa hal yang ditunjuk menjadi pilihan dan dianggap paling ‘menarik.’ Kata menarik dalam suatu obyek dilatarbelakangi ’kesenangan’ atau dianggap ‘aneh an atau unik’. Alasan inilah menjadi sebuah kata ‘indah’ dan ‘senang’ ketika menjawab pertanyaan. Rujukan yang akan didapat dari jawaban tersebut adalah kesenangan dikarenakan obyeknya menarik, kemenarikan tersebut oleh sebab obyek yang indah.
Pilihan ke’unik’an seseorang pada suatu objek menjadi menarik untuk didiskusikan, karena pilihan itu bersifat ‘subyektif’. Meng ’obyek’ kan keindahan, hasilnya menjadi subyektif, karena pilihan masing-masing peserta didik berbeda. Pilihan subyektif ini yang menjadikan keindahan itu sulit dipahami orang, karena pilihan masing-masing orang berbeda. Pilihan yang bersifat subjektif diminta memberi alasan pemilihan. Di sinilah proses pengubahan subyektivitas menuju obyektivitas pandangan terhadap keindahan. Contoh, pemahaman terhadap estetika artifisial seperti ‘sudut suatu ruangan’ atau ‘karya seni,’ dengan disertai alasan (reasoning) menghasilkan pengetahuan ‘keindahan’. Pengetahuan keindahan menjadi bahan dasar berperilaku dan berkarya seni.
Berdasarkan contoh di atas, maka obyek keindahan dapat dilihat dengan penginderaan yang berbeda namun akan menemukan hasil yang sama. Obyek dapat dikatakan indah melalui dua proses, yaitu mengambil jarak (abstrahere=menjauhkan diri dari, mengambil dari jarak) dan mendekatkan obyek dalam peristiwa pengalaman disebut dengan naturalistik. Sebagai contoh obyektivasi keindahan, atau menentukan suatu keindahan dalam sebuah obyek:
a.    Pengambilan jarak terhadap obyek (abstrahere=menjauhkan diri dari, mengambil dari jarak).
 








b.    Penyatuan diri dalam obyek
 








Skema 1: Skema Penginderaan Obyek Estetika
   Proses penginderaan dengan mengambil jarak mengindikasikan seseorang untuk menduga dan memberikan arti terlebih dahulu. Artinya, seseorang harus menggunakan indera pikiran terlebih dahulu ketika melihat suatu obyek kemudian baru member arti. Peng”arti”an ini merupakan peristiwa berpikir, dan menebak, Gadamer (1900 – 2002) http://id.wikipedia.org/wiki/Hans-Georg_Gadamer), seorang filsuf Jerman mencontohkan pemikiran positivistik seperti seorang hakim yang bertanya kepada terdakwa. Pertanyaan kepada terdakwa telah dirancang untuk menjawab agar tuduhan terbukti. Jawaban yang diberikan oleh terdakwa menjadi jawaban terpola, sehingga kadang tidak dapat memberikan jawaban lain atau alasan lain dalam menjawab pertanyaan. Jika kemudian dianalogkan dengan objektivasi keindahan, maka apresian akan memola pikirannya terlebih dahulu ketika akan melihat dan mengamati suatu obyek. Objek seolah-olah terpola berdasarkan pemikiran seorang apresian.
Objektivasi jenis ini seolah memberikan gambaran jelas dan jawaban yang jelas bahwa suatu obyek itu mempunyai pola. Keindahan tertata seperti bayangan apresian, misalnya: nada, suara, komposisi dan sebagainya dalam suatu pengamatan langsung. Pola-pola yang sedemikian pasti membuat ungkapan terhadap obyek keindahan juga terpola. Pendekatan belajar keindahan seperti di atas disebut dengan pendekatan positivistik. Gaya ini ditolak oleh kelompok empirisme, obyektivasi keindahan tidak mungkin dapat dipola, karena masing-masing obyek mempunyai struyktur dan gaya yang berbeda. Apalagi kalau obyek itu merupakan “obyek yang hidup” maka tidak akan sama dari satu terhadap yang lain. Obyek adalah sesuatu yang natural (alami) oleh karenanya diperlukan pemahaman terlebih dahulu, bukan obyek yang dapat dipecah berdasarkan klasifikasi dan katagorisasi. Obyek itu hidup sesuai dengan kondisinya, dapat diartikan manakala seseorang masuk diantara “hidup” nya obyek dan bukan berada di luar obyek. Konsep inilah estetika sebagai obyek keindahan menjadi lebih spesifik. Artinya keindahan yang telah diinterpretasi, bahkan dire-interpretasi menghasilkan obyek keindahan yang berbeda. Proses ini yang disebut sebagai porses kreativitas; yaitu mencari sesuatu yang berbeda dengan yang pernah diamati, diingat dengan mengubah prinsip, konsep serta fakta objek. Prinsip adalah susunan yang teratur dan mempunyai susunan berupa ide maupun langkah yang tepat. Sedangkan konsep objek adalah gambaran objek yang mempunyai cirikhas serta menunjukkan karakteristik suatu obyek. Objek dilihat secara konsep adalah susunan yang mempunyai karakter khas. Misalnya, apa bedanya rumah semut dengan sumah manusia? Jawaban akan mengarah cirikah rumah semut; ‘tidak beratap’ atau ‘fungsi atap sama dengan fungsi dinding’, artinya merupakan lubang. Sedangkan rumah manusia adalah bangunan yang mempunyai atap, dinding dan lantai. Jadi konsep rumah sama namun bentuk berbeda. Demikian pula jika dikatakan obyek keindahan itu berbeda namun rasa indah itu mampu memberikan ketenangan, ketenteraman serta keunikan yang menjadi cirri khas suatu obyek keindahan.
Sebelum membahas lebih banyak memahami obyek keindahan, anda diminta mendiskusikan dan kemudian menarik kesimpulan, metoda pemahaman terhadap obyek keindahan. Bagaimana metoda interpretasi obyek keindahan tersebut? Samakah menginterpretasi dan menerjemahkan rumus keindahan sama dengan rumus matematika. Untuk itu diperlukan pendekatan belajar memhami estetika sebuah objek.

C.  Instrumen Penginderaan Estetika
Ketika estetika (keindahan) diamati sebagai hasil obyektivasi terjadilah “pemahaman (verstehen)”, kemudian dirasionalkan. Ternyata keindahan hasil pemahaman terhadap obyek yang dipelajari menjadi jelas ketika diuraikan kembali. Penampakan estetika tersebut berupa susunan, bentuk, tatalaku, yang masih tersimpan di dalam “persepsi”. Kemudian proses berpikir mulai meraba susunan, prinsip ataupun keseimbangan yang ada pada obyek indah tersebut. Proses ini bersifat abstrak dan individual. Ketika penginderaan, keindahan dikemukakan dengan bahasa bentuk atau tulis, dan terwujud arti keindahan yang dipikirkan tadi. Keindahan yang diamati menjadi obyektif. Sifat indah dapat dikaitkan dengan ‘senang dan tidak senang’ (like and dislike), artinya keindahan dapat dipengaruhi oleh rasa ‘senang atau tidak senang’.
Pengalaman obyektivasi estetika bergantung pada alat pengindraan, yaitu diantara pikiran dan perasaan, yaitu: sensing, feeling, thinking, dan rationing.
-          Sensing adalah peristiwa penginderaan obyek estetika melalui rasa dengan menyerahkan sepenuhnya kepercayaan. Estetika menjadi sesuatu yang mutlak (apriori) berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Proses ini dipengaruhi oleh kepercayaan atau pengetahuan yang dipunyai.
-          Feeling, merupakan perpaduan rasa kepercayaan dengan pikiran; pikiran masih dipengaruhi oleh sensing di atas, namun keindahan dipertanyakan dengan peran keber”ada”an obyek, apakah berdasar pada minat, kepercayaan atau pengalaman yang pernah tersimpan menjadi “sedimentasi” indah. Peristiwa ini dapat dinyatakan dengan bahasa, belum pada visualisasinya.
-          Thinking adalah proses berpikir untuk mengalahkan perasaan yang pernah berlangsung dari pengalaman obyektivasi keindahan. Proses ini menjadikan keindahan dapat dipahami oleh orang lain, karena telah diungkapkan melalui bahasa yang tepat. Kepercayaan terhadap estetika mulai bersifat nyata, indah dinyatakan dalam bentuk bahasa sehingga orang lain akan mempercayainya. Keindahan menjadi sesuatu yang dapat diuraikan berdasarkan pengalaman dan pernyataan pengetahuan.
-          Rationing merupakan proses yang sangat nyata, antara obyek yang tidak atau belum diobyektivasi keindahannya. Obyek keindahan menjadi seolah ada sebelum orang melakukan penginderaan. Proses postivisme ini memberikan gambaran dan prinsip yang ada dalam obyek keindahan. Pelajaran estetika dapat dirasionalkan, artinya pengetahuan estetik menjadi pengetahuan sistematis. Kejelasan komponen masing-masing system dapat diterangkan berdasarkan kedudukannya; misalnya dalam pengetahuan seni: kaitan komponen satu dengan yang lain dapat diidentifikasi hubungannya, kefungsiannya atau bahkan kontradiksinya. Beberapa komponen baik selaras maupun kontradiksi akan menjadikan pengetahuan estetik lebih variatif.

 














D.  Karya Seni Rupa
Estetika yang telah tertangkap oleh indera kemudian teruraikan berdasarkan susunan-susunan pengetahuan tentang keindahan. Pengetahuan baru tersebut menjadi terklasifikasi secara otomatis oleh rasa dan pikiran serta secara otomatis juga terseleksi. Klasfikiasi estetika kemudian bercampur dengan pengetahuan lama, baik sejenis maupun tidak yang menyatukan diri menjadi Kristal-kristal keindahan dalam imajinasi. Ketika proses berpikir lebih menguatkan klasifikasi maka susunan pengetahuan estetika sebenarnya siap diutarakan, baik dalam bentuk orak (bahasa kata dan suara) maupun bahasa bentuk. Teori Psikoanalisis Sigmnud Freud (6 Mei 1856 - 23 September 1939. - http://id.wikipedia.org/wiki/Psikoanalisis) menjelaskan proses visualisasi estetika, sebagai berikut: pengetahuan estetik (keindahan) terakumulasi dan menjadikan dorongan kuat dalam bentuk baying-bayang imaji (dinamakan Id). Id yang telah mengkristal tersebut siap dikeluarkan sebagai ego nya, maka susunan telah tertata rapi yang siap dikeluarkan. Super-ego memberikan gambaran tempat yang akan dikeluarkan dari sedimen pikiran maupun perasaan hasil cerapan tersebut. Akhirnya, estetika akan keluar sebagai bahasa; estetika artifisial.
Ojektivasi estetika yang bersifat individual sering memunculkan kekuatan estetik yang kemudian dipancarkan ke dalam karya seni. Hasil pancaran berupa karya seni mempunyai nuansa (greget- bhs Jawa). Perbedaan tersebut terletak pada kemampuan serapan dan kemampuan visualisasi. Kemampuan serapan estetika dapat tertangkap banyak atau sedikit berangkat dari motivasi yang disebutkan sebagai pengetahuan estetik. Di bawah ini merupakan skema proses presentasi dan representasi estetika alami menjadi estetika artifisial
 










Skema 4: Keindahan artificial sebagai pengetahuan dalam karya seni
Instrument pengindraan keindahan yang digunakan untuk membidik sasaran adalah 4 instrumen di atas. Sedangkan sasaran bidik pada suatu karya seni adalah: kontur, konten dan konteks karya seni. Kontur adalah sasaran wadag atau fisik suatu karya, sesuatu yang dilihat berdasarkan bentuk yang adak. Bentuk-bentuk tersebut berupa (gambar 5):




Gambar 5, Struktur Karya Seni
 
 




Skema di atas dapat divisualisasikan ke dalam karya seni lukis; struktuir karya seni mempunyai unsur kontur, konten dan konteks. Gambar (6) di bawah Sebenarnya contoh lukisan ini merupakan simbolisasi. Barangklali dapat diimplementasikan ke dalam karya seni tari, atau music bahkan seni drama dan film. Sedangkan skema di bawah ini bentuk penginderaan estetika:


Skema 6; obyek formal dan material seni
 

 
Konten adalah isi atau makna, terkandung dalam kontur karya, dapat berupa cerita, cita-cita, ide, ataupun angan-angan sebagai dorongan terwujudnya kontur. Kontur dan konten dipengaruhi oleh konteks.. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam suatu tampilan karya, namun secara hakiki mempunyai unsur tersebut.



 E. Pembelajaran Estetika
Pelajaran estetik sebenarnya juga merupakan pelajaran seni, karena seni telah dipersyaratkan dengan pengetahuan penciptaan. Dalam uraian terdahulu diungkapkan, pertumbuhan pemahaman estetika diajukan teori Plato: esensi suatu seni adalah keindahan (estetika); alam sebagai sumber keindahan, dalam arti keindahan itu “Ada” adanya. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana estetika dapat ditangkap oleh indera dan mewujudkan menjadi karya seni.
1.    Dalam konsep lama seni adalah peniruan alam dapat dicontohkan sebagai berikut: pemandangan sebagai rekaman ide dapat diidentifikasi keindahan sesuai dengan motivasi dan minat penikmat. Penikmat dapat menyebutkan keindahan bentuk, warna, susunan dan menjelaskan penyebabnya. Alasan obyektivasi keindahan tadi terungkap sebagai pengetahuan yang sebagian mengkristal siap dilepaskajn menjadi karya seni. Susunan keindahan telah dipotret oleh prinsip penciptaan dan akhirnya diungkapkan menjadi gumpalan estetik artificial. Melalui sistem pengetahuan yang telah dipunyai oleh peseni, atau orang yang pernah belajar seni (tata aturan dan prinsip penciptaan telah dipahami) akan menghasilkan bentuk dan ide yang berbeda.
2.    Karya seni ini merupakan hasil ungkapan cerapan estetik berdasarkan pelajaran terhadap estetika alami. Estetika yang dihasilkan oleh karya seni adalah estetika artifisial, yaitu tiruan dan interpretasi terhadap obyektivasi pemandangan yang pernah diserap melalui penginderaan. estetik yang telah divisualkan ini disebut karya seni.
3.    Karya seni yang sebenarnya adalah visualisasi ide dan gagasan dengan sentuhan sistem nilai estetik yang telah mengendap dalam tata laku peseni akan menghasilkan karya-karya inovasi.
Pendidikan Estetika dikembangkan sebagai berikut:


 
          










Skema 8: Skema Alur Pengajaran Estetika
 
 



Pencarian hakiki estetika bagi anak tidak dengan menjelaskan melainkan dengan melakukan, atau sering disebut dengan pendekatan partisipatif. Dalam olah karya anak diminta mengamati tataletak dan persimpangannya dengan bentuk-warna-komposisi yang nantyinya menjadi bekal dasar berapresiasi. Prinsip-prinsip desain menjadi bagian yang terpenting dalam apresiasi tersebut, di samping isi atau konten (lihat struktur karya). Estetika tidak lagi dipositifkan sebagai kerangka yang dijelaskan sesuai dengan detail-detail symbol melainkan symbol yang penuh dengan makna.
Secara keseluruhan sebenarnya pembelajaran seni dapat melihat teori terjadinya seni; Abdul Kadir (1976) menyitir teori kehadiran seni adalah:
-          Theory of Play, teori bermainan ini dimaksudkan adalah teori kehadiran seni berasal dari pengalaman bermain; dengan bermain-main bentuk, warna maupun garis seseorang menemukan hakikat seni dan akhirnya diangkat sebagai karya seni. Fenomena kehadiran seni seperti terurai diatas dapat digunakan untuk menyusun pola pembelajaran: (1) perilaku bermain menghadirkan metoda berekspresi bebas, (2) menghias benda dengan metoda inovasi, gubahan, serta penciptaan kembali, (3) perilaku kontemplasi spiritual menghadirkan metoda eksplorasi melalui penguatan imajniasi. Ke tiga metoda dasar ini nantinya berkembang menjadi beberapa metoda dengan langkah khas, dimana belajar seni adalah belajar peningkatan rasa indah melalui berkarya seni.
-        Theory of Utilization; teori kebermanfaatan dari kebiasaan membuat benda - benda praktis dan diinginkannya lebih menarik lalu dikembangkan menbjadi suatu karya seni. Sebagai contoh: ketika peristiwa membuat alat perang, seseorang memperindah belati dengan berbagai hiasan yang maknanya untuk kemenangan. Akhirnya hiasan pada belati ini memberikan nilai tersendiri pada karya tersebut dan akhirnya keindahan yang ada pada belati disengaja untuk diciptakan dan diimplemntasikan kepada benda lain dan diperoleh karya seni. Demikian pula, beberapa tarian hadir karena kebutuhan praktis.
-        Theory of Magic and Rellegy, gagasan kehadiran seni dikarenakan kebutuhan penyembahan kepada yang maha Pencipta. Atas dasar nilai spiritual diciptakan karya nusik, tari maupun bentuk rupayang indah dengan pengharapan semoga pencipta menerima segala sesuatu yang diminta. Konsepsi magis inilah akhirnya benda untuk peralatan upacara, gerakan tubuh serta musik untuk kebutuhan upacara keagamaan dkemas dengan rasa spiritual namun etis dan estetis. disinilah karya seni dihadirkan dengan kesungguhan dan berangkat dari teori rasa yang dalam (spiritual, magis).

 



DAFTAR PUSTAKA

Art Maps: art Explorations for children, (1993)., Directorate of School Education  – Victoria.
Baldinger, Wallac S, 1960, The Visual Art, New York: Holt Rinerhart and  Winston.
Calvin S Hall (2000), Libido Kekuasaan Sigmund Freud, Tarawang-Yogyakarta.
Carter, Michael (1990), Intorduction Theory Framing and The Visual Image Art (trans visual studies), Hale & Iremonger, Sydney-Australia.
Chernyshevsky, N.G, (1953) Hubungan Estetik Seni Dengan Realitas, (terjemahan Samanjaya, 2005), Perpustakaan Nasional, Jakarta.
d' Francisco., Italio, dan Sawyer, John R., 1971.  Art Education – Its Means and Ends, Harper & Row, New York.
Earl W. Linderman dan Donald W. Herbertholz, 1981, Developing Artistic Perceptuial Awareness, Wm C. Brown Co. Publisher, Dubuque, Iowa – USA.
Eisner, Eliot W., (1972), Educating Artisrtic Vision, Macmillan Publishing, New York.
Feldman, Edmund Burke. 1996. Art As Image An Idea. New Jersey Englewood Clife. Hall The University Of  Georgia.
Lansing, Kenneth M., (tt), Art, Artist, andf Art Education, McGraw-Hill, New York.
Lelland, Cavid Mc. (2005), Ideologi Tanpa Akhir, (terjemahan Muhammad Syukri), Kreasi Wacan – Yogyakarta.
Liftschitz, Mikhail., Salamini, Leonardo. (2003) Praksis Seni: Marx & Gramsci, (terjemahan Ari Eijaya), Penerbit Alinea-Gejayan, Yogyakarta.
Lowenfeld dan Lambert Brittain, 1975 Cretaive and Mental Growth, Macmilan Publishing, New York.
McKechnie, Jean,L. (edt) (tt)., Webster’s Twentieth Centur4y Dictionary, Prentice Hall, New York.
Ministry of Education (School Devision)-Victoria (1988), The Arts Framework P-10, Australia.
Ministry of Education, Victoria, (1986) Learning Through Integrated Curriculum (approaches and Guidelines) Victoria,  Australia.
Mudji Sutrisno, Christ Verhaak, (1993), Estetika Filsafat Keindahan, Pustaka Filsafat – Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Garha, O. 1979. Pendidikan Kesenian Seni Rupa II. Jakarta: Depdikbud.
______________. Pendidikan Kesenian Seni Rupa III. Jakarta: Depdikbud.
Pamadhi, Hajar., 1994, Art Teaching, Center for Studies in the Curriculum, Victoria - Australia.
Read, Herbert., (1961), Education Through Art, Faber and Faber, London.
Robert W. Ott and Al Hurwitz (1984), Art in Edducation: An International Perspective, The Pennsylvania State University Press- University Park and London.
Ross, Malcolm (1984), The Aesthetic Impulse, Pergamon Press-New York.
Smolcha, Larry.  1996, The Visual Art Companion, Prentice Hall, Engelwood Cliffs, New Jersey.
Soedarso Sp., 2006, Trilogi Seni, Penciptaan Eksistensi danKegunaan Seni, Badan Penerbit ISI Yogyakarta.
The Liang Gie (1996), Filsafat Keindahan , Pusat Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta.
----------- (1996), Filsafat Seni, Pusat Belajar Ilmu Berguna, Yogyakarta.

Vernon. P.E., (1970). Creativity, Penguin Education-Great Britain.

Wolfgang Grozinger, tt., Scribbling, Drawing, Painting, Faber and Faber Ltd., London.










                    



Tidak ada komentar:

Posting Komentar